Jumat, 29 April 2011

SEBENARNYA KITA TIDAK PERNAH SEPENUHNYA MEMILIKI SESUATU (Sebuah renungan tentang ‘memiliki dan kehilangan’)

Jadi begini ceritanya. Sore itu, aku pulang dari tempat kerja dengan membawa nasi + sayur + lauk untuk menu makan malam (maklum anak kos…). Menu ini adalah menu favorit yang aku beli dari warung favorit. Seperti biasanya, makanan itu dimasukkan ke dalam kantong plastik.

Pulang kerja, makanan itu kugantungkan di motor. Aku pulang melewati jalan yang sama dengan kecepatan yang relatif sama. Tapi alangkah kagetnya aku begitu sampai rumah, ternyata kantong plastik tadi sudah jebol bagian bawahnya, dan seluruh isinya raib. Pasti jatuh di jalan. Tapi tepatnya dimana, entah..

Dari kejadian itu, aku merenung. Bahwa sebenarnya kita tidak pernah sepenuhnya memiliki sesuatu, bahkan ketika kita merasa sudah membelinya, sudah melakukan kewajiban sebelumnya, sudah bersusah payah mendapatkannya, atau sudah berkorban jiwa raga untuknya…

Makanan itu, yang aku beli dengan yakin, kubungkus dengan hati hati, lalu kubawa pulang dengan percaya diri, dan rencananya nanti akan kunikmati dengan sepenuh hati, ternyata toh bukan ‘milikku’. Hukum sebab – akibat yang mengatakan bahwa “sebab kewajiban sudah kupenuhi, maka aku berhak” ternyata tidak selamanya berlaku. Ada unsur lain yang lebih ber’power’ dari hokum itu “takdir”

Dan ‘kekuatan takdir’ itu mengaromai semua sisi kehidupan kita.

Ketika kita adalah seorang pekerja keras, maka seberapa jauh kita memiliki harta kita? Bisa jadi, harta itu menjadi korban pembobolan rekening di bank yang sebelumnya kita percaya betul (naudzubillah..). Ketika kita sudah belajar tekun, maka seberapa lama kita memiliki ilmu kita? Bisa jadi nanti kita akan menjadi manusia manusia pikun di masa tua, atau malah terkena amnesia (sekali lagi, naudzubillah…). Atau kalau kita sudah menikah, seberapa jauh hak kita atas suami/istri kita? Bisa jadi suami / istri kita adalah orang super sibuk yang tidak hanya mengurusi kita, tapi juga punya kewajiban mengurus masyarakat dan umat.

Tapi, kenyataan bahwa “sebenarnya kita tidak pernah sepenuhnya memiliki sesuatu”, apa kemudian membuat kita ketakutan dan akhirnya melepaskan semuanya???

Tentu itu bukan pemikiran yang bijak. Sejak awal, kita memang tidak pernah menjadi ‘pemilik’. Kita adalah sekedar ‘para penjaga’ yang diberi amanah dalam waktu tertentu. Dalam istilah ekonomi syariah adalah wadhiah yad adh dhamamah : titipan yang boleh diberdayakan untuk mendapatkan kemanfaatan, tentu saja dengan seizin Sang Penitip.

So, mari kita menjadi para penjaga yang professional…