Senin, 31 Mei 2010

MENUNGGU MEKAR

seluas apa padang rumput kita?
ketika ternyata tak ada kupu kupu yang datang dan terbang dan mengitari bunga bunganya..
apa kau kecewa, dinda?

maukah menunggu mekarnya?
kan kutanami tanah dengan kembang kertas..
yang ungu saja..
atau merah?
ah, pasti indah..
lalu kupu kupu datang..
kumbang..

kita undang tawa agar pecah di rerumputannya..
nanti padang kita kembali terjaga..
penuh cinta..

Rabu, 26 Mei 2010

MARI BERDAMAI, DINDA..

trang..

mari berdamai, dinda..
karena ternyata perang ini tak memenangkan siapa-siapa..
seperti hempasan ombak lautan, aku sudah lelah menghajar karang-karang..
aku berhenti saja..

maka mari berjabat tangan, dinda..
biarkan jari-jari kita saling mengerti..
biarkan darah mengalir saja dalam nadi..
tak perlu menetesi tanah tanah yang sudah merah..

maka mari bicara, dinda..
agar aku bisa melihat senyummu dan lalu membalasnya..
kita akan menyelesaikan hari ini dengan sempurna..
dinda..

trang..

tak perlu merayuku, kanda..
perang sudah dimulai dan aku tak bisa menghentikan pedang yang melayang..
haruskah aku menyesal ketika kau terluka karena tajamnya?
jangan berharap, kanda.. 

mestinya kau ingat perang ini ada karena  maumu. 
ingat kah? 
aku bahkan tak ingin memasang perisai waktu itu,,
tak ingin pedangmu balik melukaimu..
ingatkah? 
ketika aku memohon mohon.. hentikan perang ini..hentikan perang ini...

tapi kau tertawa..menungguku  membalas kekejamanmu.. 
oh,,akan tegakah aku?

pedangmu terus saja menusukku...
tak berjeda..
hingga habis darah.. 

apakah aku harus mati dalam kebencianmu? 
ah,,tak manis sekali rasanya..

maka  aku berlari, kanda,, 
tak ingin melukaimu tapi juga tak ingin terluka.. 
ingatkah? 

kau tetap mencariku... 
memaksaku melayangkan pedang..
kau menantang. 

maka ini lah aku kanda... 
perisai ku pasang..
pedangku melayang..
seperti yang kau tunggu, ini perang... 

maka ini lah aku kanda... 
yang tak peduli ocehan kupu-kupu.. 
tak punya perasaan tak berbelas kasihan..

ingatkah? 
aku hanya ingin mengabulkan keinginanmu...
jadi tak perlu merayuku, kanda...

trang..


oh dinda, mari berdamai saja..

ini sungguh detikku yang terakhir..
tidakkah kau ingin aku tersenyum seperti dulu?
senyumku yang terakhir..

ayolah dinda, mari berdamai saja..


trang..

tidak...


trang..


oh..




Jumat, 21 Mei 2010

Barusan aku kehujanan... Eh, bukan dink... Yang betul hujan-hujanan.. Apa bedanya? Toh endingnya tetep sama, basah..pake kuyup pula... Yup, betul sekali. Ga akan keliatan bedanya kalo kita cuma liat endingnya.. dan begitu lah kebanyakan manusia, ngeliat endingnya. Apa salah? Entahlah.. Yang jelas, ngeliat endingnya jauh lebih gampang dibanding mesti mencari-cari penyebabnya, menginvestigasi alasannya, prosesnya...Itu off the record.. Ga dipublikasikan...
Makanya, jangan dongkol kalo ada orang yang salah paham sama kita.. Membenci kita gara-gara perbuatan kita. Padahal kita merasa ga salah, sama sekali ga salah, kita punya alesan kuat melakukan hal itu.. Sekali lagi, jangan dongkol dulu, bro..sis.. Manusiawinya, manusia-manusia di sekeliling kita jelas lebih gampang liat akibatnya... Masalah ternyata bukan kita yang salah, atau karena kita punya alesan melakukan hal itu... itu di luar penilaian mereka. Kita pahami saja, mereka cuma ga mau pusing mencari penyebabnya. Biarkan anjing menggonggong, kafilah tetep berlalu. Berani karena benar, takut karena salah. Apa lagi ya, pribahasa yang pas???? :)
Yang jadi masalah, kalau justru yang terjadi justru sebaliknya. Orang lain menganggap kehujanan, padahal kita sengaja hujan2an. Saya ambil contoh kasus bencana tsunami aceh sekian tahun lalu. Ini fiksi lo ya...
Sebuah keluarga, ayah, ibu, dan seorang anaknya, terseret arus tsunami yang dahsyat itu. Sang ayah sudah bertekad sedemikian rupa, agar  istri dan anaknya tidak terlepas dari pegangannya. Sang ayah sendiri memeluk tiang (ga tau tiang apa). Erat banget..biar ga kebawa arus. Tapi apa mau dikata, pegangan sang istri dan anaknya terlepas. Sehingga mereka terbawa arus dan ga tau lagi gimana nasibnya.
Apa yang terjadi sama sang ayah? Dia histeris... Istri dan anaknya ga selamat. Dan betapa menyedihkan hidup tanpa keduanya. Sang ayah ga sanggup bertahan hidup tanpa mereka. Daripada hidup sendirian, mending dia ikut mati sekalian. Begitu pikirnya. Makanya, dia melepaskan pelukannya  dari tiang. Tubuhnya hanyut terbawa arus, dan beberapa hari kemudian ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa.
Di mata manusia, dia tentu tercatat sebagai korban tsunami. Tapi siapa yang tau, kalau ternyata dia korban bunuh diri? Naudzubillah min dzalik...

Kamis, 20 Mei 2010

MENUNGGU

aku harus bagaimana, ibu?
malam ini begitu dingin karena jendelaku tak lagi berdaun
angin angin menyerobot masuk tanpa mengetuk
tapi memang tak ada yang bisa diketuk, bukan?
jendelaku tak berdaun...

dingin, ibu...
peluklah aku
biar kupinjam hangatmu..

tapi bagaimana nanti denganmu?
bukankah aku tak tahu kapan bisa kukembalikan?

atau ibu, tak bisakah kita bagi saja?
kau ambil separuh dan aku sisanya..agar dingin ini tak selamanya..

ah, bisumu menakutiku, ibu...
atau mestinya aku tahu bahwa kehangatan itu hanya hidup ketika utuh..
kalau harus dibagi, maka ia hanya menjadi beku...

lalu bagaimana, ibu?
atau kutunggu saja sampai mati rasa?

Jumat, 07 Mei 2010

Buatlah janji sesekali..
kalau kalau nanti dunia terpaksa emmbencimu
kau tahu, semua akan terasa sulit sejak detik itu
karena langit bisa berubah abu abu dan meninggalkan embun yang ungu
adakah indah embun yang ungu?

Lalu apa tak akan takut dirimu?
sambil mengamati dahan dahan yang begitu nyaman dalam pelukan hujan
bukan girimis, dinda...
tapi badai
matahari juga tak sempat datang karena terlanjur malam
terambat, dinda...

Tapi apa malam akan iba padamu?
berbaik hati membukakan jendela dan pintu pintu
menuntunmu masuk dan memeluk
oh..aku tak yakin..

Jadi, buatlah janji
mungkin satu dua
sekedar memenjara tangan tangan agar tak liar menampar
ini bukan wajahmu, dinda..
dan aku pasti akan terluka
apa kau tega?

Jadi, buatlah janji..
bahwa apa pun yang terjadi kau akan kembali

(11.09 : menunggu waktu dan sadar bahwa setiap diri pasti mati....)

Senin, 03 Mei 2010

ku sempurnakan sujud..
ketika lutut begitu takut hingga gemetar dan tak kuasa menyangga raga...
lalu telapak tangan tangan menyentuh tanah sepenuhnya..
memutih jari jari itu
ingin benar ia menjadi saksi agar tak terjatuh dari rambut yang dibelah tujuh...
akankah aku berlari?
atau mungkin tertatih?
atau malah tidak sama sekali?

oh.. astaghfirullah...

lalu kuciumi aroma basahnya..
mencoba membayangkan dingin ketika aku nanti harus kembali..

oh..astaghfirullah...

air mata mengalir..jatuh..tenggelam di sela selanya..
kubiarkan ia memenuhi janji pada bumi..
gravitasi..
akankah ia menyirami kerontangku ketika matahari tak berjarak lagi?

oh..astaghfirullah...

jadi ku sempurnakan sujud..
mengakui bahwa Kau Yang Maha Tinggi
lalu mencari cari tangga menuju Ketinggian itu...

Minggu, 02 Mei 2010

ketika sebuah mobil menciprati bajuku dengan genangan air di tepian jalan, aku sekedar membersihkannya. saat itu gerimis dan mobil tetap melaju tanpa sedikitpun merasa bersalah.. sudahlah, aku sama sekali tak ingin menghamburkan sumpah serapah..

ketika seseorang menamparku dengan tangan kanannya, aku sekedar meraba pipiku yang memerah.. aku tak bersalah.. maka sakit tentu saja, tapi aku juga tak hendak balas menampar.. aku merasa cukup tegar..

ketika malam tengah benar benar sunyi, aku sekedar mendesah.. sekedar ingin mendengar sesuatu agar tak sempurna bisu.. tapi sama sekali tak hendak bernyanyi.. bagiku, cukuplah desah itu..

seingatku, aku selalu biasa saja memandang luka.. kusembuhkan.. kulupakan.. semuanya biasa saja..

tapi kali ini biarkan aku bersedih.. kali ketika kau memutuskan untuk pergi..

aku menangis..

(0022:insomnia)